Search
Close this search box.
Search
Close this search box.

Potret Perkawinan Adat Cireundeu Cimahi yang Responsif Gender

Hasil penelitian tesis mahasiswa Hukum Keluarga Islam angkatan 2020 yang bernama Neng Eri Sofiana telah dinyatakan lulus oleh Tim Penguji yang terdiri dari Nur Kolis, Ph.D selaku Ketua Sidang, Dr. H. Lutfhi Hadi Aminudin, M.Ag. selaku Penguji Utama, dan Dr. Miftahul Huda, M.Ag. sebagai Penguji kedua pada hari Kamis 17 Maret 2022. Tesis ini telah menggugat stigma dan anggapan bahwa adat-istiadat dan kontruk budaya masyarakat yang selalu (biasanya) melahirkan bias gender. Nyatanya, tesis yang berjudul “Kontruksi Gender dalam Nikah-Kawin Kelompok Adat Cireundeu Kota Cimahi Jawa Barat” menemukan bahwa terdapat konstruk budaya yang responsif gender pernikahan di Kelompok Adat Cireundeu Kota Cimahi Jawa Barat. Berikut ulasannya.

Perempuan yang acapkali dikenal sebagai manusia kedua, inferior, atau yang dalam masyarakat Jawa dikenal dengan konco wingking atau partner hidup yang hanya mempunyai pekerjaan di sumur, dapur, dan kasur yang secara ranah mendomestikasi perempuan, yang juga tidak berperan dalam walayah atau perwalian dan diperdebatkan posisinya dalam qiwa>mah, sehingga laki-laki dianggap lebih khusus dibandingkan perempuan. Seperti laki-laki memilih perempuan dipilih, laki-laki mengawini perempuan dikawini, laki-laki menafkahi perempuan dinafkahi, laki-laki menceraikan perempuan diceraikan, dan hal lainnya. Begitu pula dengan proses peralihan peralihan wila>yah menuju qiwa>mah atau pada proses akad nikah, perempuan hanya menyimak atau berada di ruangan yang berbeda, karena akad nikah dilakukan antara wali dan calon mempelai laki-laki saja. Padahal, nilai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan sangat jelas di dalam alquran, begitu juga dalam Pasal 16 CEDAW (The Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination againt Women) sebagai sebuah konvensi PBB terkait penghapusan semua bentuk diskriminasi kepada perempuan menegaskan kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam pernikahan yang berarti bahwa peralihan wila>yah menuju qiwa>mah bisa dilakukan oleh perempuan.

Peralihan wila>yah menuju qiwa>mah yang dilakukan oleh perempuan ini bisa ditemukan di Kampung Adat Cireundeu yang terletak sekitar 6 KM dari Kota Cimahi Jawa Barat. Nikah-kawin adalah sebutan pernikahan bagi mereka, sebagai pernikahan lahir batin yang tidak mengenal cerai hidup dan menjadi ‘sah’ ketika sudah melalui tahapan-tahapannya. Tahapan puncak dalam nikah-kawin ialah adanya ikrar pernikahan yang disebut dengan ikrar jatukrami yang dilafalkan oleh calon mempelai perempuan.

Dalam teori Konstruksi Sosial milik Peter L. Berger dan Thomas Luckman, terdapat tiga proses yang mengiringi suatu fenomena, yakni ekternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi. Pada konteks nikah-kawin, ekternalisasi sebagai sebuah pengetahuan awal tentang pernikahan, bahwa sesuai dokumen yang ada pada tahun 1863 saka Sunda, pernikahan sudah dipraktikkan, namun belum menggunakan ikrar jatukrami, melainkan diwakilkan oleh Pangeran Madrais yang kemudian digantikan oleh sesepuh adat Cireundeu (ibu dan bapak) sepeninggal Pangeran Madrasi pada tahun 1939 M. Kemudian pada tahap objektivasi sebagai tahapan yang menandakan adanya interaksi pengetahuan awal dengan dunia sekitarnya yang pada konteks ini ditemukan adanya gejolak sejak munculnya Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 yang membatasi kelompok adat untuk melakukan pernikahan secara adat dan memutuskan untuk menikah di KUA. Hal ini terus berlangsung hingga abad kedua puluh, dan ikrar jatukrami yang pertama kali dilakukan adalah pada tahun 2007, namun pasangan tersebut juga tetap melakukan pernikahan di KUA. Kemudian mulai sekitar tahun 2010 hingga sekarang, pernikahan yang digelar hanya dengan ikrar jatukrami saja.

Ikrar jatukrami yang dilafalkan oleh perempuan ini menjadi representasi bahwa perempuan adalah mahluk yang dimuliakan di dalam adat, dan hal ini diakui oleh kelompok adat itu sendiri. Seperti kata ‘indung’ yang banyak digunakan dalam berbagai istilah Sunda, filosofi, kosmologi, musik tradisional, dan pencak silat, serta kedudukan perempuan dalam rumah tradisonal Sunda yang dianggap luhur dan menguasai jantungnya kehidupan di dalam rumah, di dalam mitologi, dan mendapatkan hak waris yang sama dengan laki-laki. Sehingga pada tahap internalisasi sebagai tahap penyerapan hasil obyektivasi ditemukan bahwa ikrar ini membentuk kontruk yang responsif gender yang melibatkan perempuan secara aktif dalam ikrar pernikahan atau peralihan wila>yah menuju qiwa>mah yang juga menegaskan bahwa prakarsa pernikahan juga timbul dari perempuan, dan tanpa adanya paksaan.

Uniknya, konstruksi gender yang ada ini selurus dengan relasi suami istri yang ada. Abah Widia sebagai sesepuh Kampung Adat Cireundeu menekankan bahwa terdapat istilah padaringan, yang berarti bahwa dalam menjalin kehidupan berumah tangga harus saling meringankan satu sama lain. Hal ini terbukti dalam peran mencari nafkah, pengambil keputusan, dan pengasuhan anak yang dilakukan secara bersama-sama. Hasil dari penelitian ini telah memberi pandangan tegas yang nyata dan jelas bahwa adat istiadat yang selalu melanggengkan bias gender, ternyata bersifat responsif gender seperti yang terdapat di kelompok adat Cireundeu Kota Cimahi.

Hasil riset tesis Neng Eri Sofiana ini menjadi menarik karena menggugat anggapan bahwa tradisi perkawinan adat biasanya bias gender, akan tetapi bergeser ke responsif gender. Untuk itu, publikasi hasil riset ini penting dan saat ini oleh saudari Neng Eri Sofiana yang sudah disubmit dalam jurnal internasional bereputasi terindeks Scopus, semoga diterima dan terpublikasikan. Amiiin.

Berita Terkait