Search
Close this search box.
Search
Close this search box.

QUO VADIS PENELITIAN AGAMA DAN KEAGAMAAN KE ARAH PENGEMBANGAN MUTU PENELITIAN DI TINGKAT MAGISTER*

(Studium Generale Pascasarjana IAIN Ponorogo, 19 Maret 2019)

Oleh: Mujamil Qomar

Tidak ada kemajuan peradaban tanpa penelitian. Kegiatan penelitian menjadi syarat mutlak dalam mengembangkan peradaban. Sejarah mencatat kemajuan Yunani diwarnai kegiatan penelitian filsafat, sedangkan kemajuan Barat modern diwarnai kegiatan penelitian yang sangat intensif di kalangan para ilmuannya. Demikian pula kemajuan peradaban Islam yang pernah memimpin dunia selama kurang lebih 8 abad juga dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan penelitian. Para ilmuan Muslim waktu itu memiliki kesadaran yang sangat tinggi untuk melakukan penelitian tanpa menunggu kucuran dana dari pemerintah.

Realitas terakhir ini menjadi kenangan indah masa lalu yang terjadi di dunia Islam. Dunia Islam sekarang baru siuman dan masih mencari bentuk serta strategi mengembangkan peradaban Islam. Sekarang kita tinggal membayangkan saja, dan berharap-harap cemas kapan kemajuan peradaban itu bisa direbut kembali. Secara lebih spesifik, kapan budaya dan tradisi penelitian itu tumbuh subur lagi di kalangan Muslim di dunia ini. Sebab jarang sekali orang Islam yang memilih profesi sebagai peneliti, melainkan mereka lebih tertarik pada profesi penyampai (muballigh) yang lebih menguntungkan secara ekonomis. Keengganan memilih profesi peneliti inilah yang menyebabkan Islam mengalami kemunduran. Padahal para filosof maupun ilmuan Muslim dahulu telah merintis penelitian.

Jejak Penelitian Ilmuan Muslim

Ada banyak kegiatan dan hasil penelitian spektakuler yang direalisasikan oleh para peneliti Muslim, sehingga layak dicermati dan direnungkan untuk membangkitkan kembali semangat ilmuan Islam sekarang ini dengan mengikuti jejak-jejak penelitian serius yang dilakukan oleh para peneliti Muslim (baik filosof maupun ilmuan Muslim) pada masa klasik dahulu. Sesungguhnya para peneliti Muslim itu telah membangun budaya dan tradisi  penelitian yang patut menjadi contoh bagi generasi Muslim sekarang ini. Gebrakan penelitian mereka bisa menumbuhkan inspirasi penelitian baru jika kegiatan ilmiah mereka berusaha diapresiasi.

Taufik Abdullah melaporkan bahwa ketika Imam Bukhari mengumpulkan dan menentukan tingkat keabsahan hadits, ia sebenarnya telah memulai tradisi penelitian. Ia mencari manakah yang ‘benar’ dari segala ‘realitas’ yang dihadapi, dengan mengenalkan metode tertentu. Penentuan mata rantai isnad bukanlah sekadar melacak tradisi yang berkesinambungan serta genealogi yang bisa dipertanggungjawabkan, namun juga menuntut pengetahuan tentang situasi sosial sekitar tempat pembawa berita hadits itu.[1] Bahkan al-Bukhari bukan hanya melakukan kegiatan penelitian dengan menggunakan pendekatan maupun metode ilmiah, tetapi juga pendekatan spiritual. Setiap ia mau menulis satu hadits, ia senantiasa shalat istikharah (shalat meminta petunjuk) dua rakaat untuk mendapatkan kebenaran dari Allah Swt.

Melalui penelitian, al-Khawarizmi menemukan angka nol dengan sebutan sifr, sebuah kata yang kemudian membentuk kata cipher dan zero dalam bahasa Eropa.[2] Para cendekiawan Barat mengakui bahwa Jabir Ibn Hayn merupakan orang pertama yang menggunakan metode ilmiah pada kegiatan penelitiannya dalam bidang alkemi yang kemudian diambil alih dan dikembangkan oleh ilmuan Barat menjadi ilmu kimia. Sebab Jabir adalah orang pertama yang mendirikan suatu bengkel dan mempergunakan tungku untuk mengolah mineral-mineral dan mengekstrasi dari mineral-mineral itu zat-zat kimiawi serta mengklasifikasikannya. Ia melakukan intizhar.[3] Maka ia adalah penemu ilmu kimia sehingga menjadi bapak yang sesungguhnya dari kimia modern.[4]

Selanjutnya, ilmuan Muslim multidisipliner  abad ke-11, al-Biruni telah melakukan penelitian dan menemukan hukum gravitasi. Kritiknya kepada Aristoteles yang menganggap sumber gravitasi adalah dualistik: langit untuk api dan udara, serta bumi untuk tanah dan air, menyebabkan teorinya mirip sekali dengan teori Newton.[5] Al-Biruni juga menemukan ‘gravitasi spesifik’ unsur-unsur.[6] Al-Biruni membahas pembagian sudut menjadi tiga bagian yang sama besarnya, dan ia adalah penemu prinsip menggambar di atas permukaan benda yang bulat.[7] Akhirnya al-Biruni berusaha untuk mengukur bumi.[8] Hasil penelitiannya ini sangat spektakuler, karena hanya selisih sedikit dari pengukuran luas bumi yang menggunakan peralatan tercanggih belakangan ini. Padahal al-Biruni naik gunung dan menggunakan alat ala kadarnya saja.

Quth al-Din Syirazi telah menemukan metode baru untuk menghitung gerakan planet yang kemudian disebut ‘Kopel Thusi’ (Thusi’s Coufle).[9] Kemudian Ibnu Haitsam melalui beberapa eksperimen telah membuktikan secara ilmiah kekeliruan teori Aristoteles tentang penglihatan (direct vision) dan menentukan bahwa bukan karena mata kita yang memancarkan cahaya kepada sebuah objek, melainkan sebaliknya, justru objek itu yang memantulkan cahaya kepada kita, baik bagi dirinya seperti lampu atau bintang, atau cahaya yang datang dari luar dirinya.[10] Teori Ibnu Haitsam ini ternyata memiliki kemiripan dengan teori yang dibangun oleh Immanuel Kant yang mengusahakan ‘revolusi kopernikan’, suatu revolusi yang dapat dibandingkan dengan perubahan revolusioner yang diadakan Copernicus dalam bidang astronomi. Sebelum Kant, para filosof memandang subjek yang harus mengarahkan diri pada objek. Kant mencoba membalik pandangan pendahulunya itu justru objeklah yang mengarahkan diri ke subjek. Jika Copernicus menetapkan bahwa bumi berputar sekitar matahari dan bukan sebaliknya, maka Kant memperlihatkan bahwa pengenalan berpusat pada subjek bukan sebaliknya, pada objek. Dari segi waktu, Ibnu Haitsam jauh lebih dulu daripada Kant, maka sangat mungkin teori yang dibangun Kant tersebut dipengaruhi oleh teori yang dibangun oleh Ibnu Haitsam.[11] Sebaiknya, Haitsam tidak mungkin meniru teori yang dibangun Kant, karena ketika Kant hidup Ibnu Haitsam telah berabad-abad meninggal dunia.

Jadi sebenarnya, penelitian dan pencarian metode penelitian yang sesuai adalah bagian dari tradisi Islam.[12] Imam Syafi’i tidak hanya menentukan hukum tentang sesuatu, melainkan lebih dulu memperkenalkan metode ushul fiqh dalam usaha penentuan hukum itu. Imam al-Ghazali tidak hanya menyalahkan ajaran para filosof sehingga tergelincir dalam kesesatan, tetapi lebih dulu meneliti metode pemikiran filsafat dan membandingkan dengan kesadaran akidah.  Kalau para mujtahid besar telah merintis tradisi keilmuan penelitian dalam Islam, mengapa terdapat ulama yang mengajukan keheranannya terhadap penelitian pada agama.[13] Ulama itu mengira bahwa agama tidak bisa diteliti, karena merusak pemahaman dan keyakinan masyarakat terhadap agamanya.

Memang inilah letak sifat mendua dari konsep ‘penelitian agama’ – penelitian sebagai cara mencari kebenaran agama dan sebagai usaha untuk menemukan dan memahami ‘kebenaran’ dari realitas empiris. Terkadang terjadi keaburan antara agama sebagai sesuatu yang ‘diyakini dan dihayati’ di satu sisi dan ‘agama’ sebagai sasaran atau subject matter penelitian pada sisi lain.  Ada perbedaan antara Imam Syafi’i yang mencari hadits yang ‘benar’, dan Ibnu Taimiyah yang ingin mendapatkan ajaran yang ‘benar’, serta al-Ghazali yang ingin merumuskan sikap hidup beragama yang ‘benar’, dengan Ibnu Khaldun yang berusaha melukiskan, menguraikan dan  menerangkan realitas yang ‘sebenarnya’. Jika tiga tokoh yang pertama ingin mendapatkan pesan yang haiki dari keabadian ajaran, maka Ibnu Khaldun ingin memahami struktur dan dinamika realitas yang fana.[14] Apabila timbul kesan bahwa mereka saling mengklaim kebenaran dan memandang orang lain salah, padahal mereka sama-sama berangkat dari al-Qur’an dan hadits Nabi, maka timbulnya kesan tersebut sesungguhnya  disebabkan oleh pandangan yang kurang tepat dalam memahami posisi kata ‘benar’ lantaran tidak didasarkan pada penelitian yang mendalam.

Metodologi penelitian Islam mungkin digunakan juga untuk menjelaskan implikasi-implikasi petunjuk ketuhanan yang makin luas dalam konteks permasalahan-permasalahan belakangan ini yang serupa metodologi ilmiah yang tampil belakangan ini.[15] Semua kegiatan penelitian yang telah dirintis ilmuan Muslim tersebut seharusnya menjadi contoh riil yang mampu membangkitkan semangat ilmuan Muslim sekarang ini untuk mengadakan penelitian agama maupun keagamaan yang serius sehingga mampu menghasilkan temuan-temuan baru yang memberikan manfaat besar bagi umat Islam maupun umat lainnya.

Signifikansi Penelitian Agama dan Keagamaan

Agama dan keagamaan dalam hal ini dimaksudkan sebagai Islam dan keislaman, atau Islam wahyu dan Islam budaya (produk sejarah). Islam wahyu merupakan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad baik al-Qur’an maupun hadits. Sedangkan Islam budaya (produk sejarah) merupakan ekpresi umat Islam khususnya ulama baik dalam bentuk penafsiran, pemikiran, pemahaman, pengamalan maupun pergerakan yang berdasarkan wahyu tersebut. Islam wahyu maupun Islam budaya (produk  sejarah) atau agama dan keagamaan keduanya menyajikan ruang sebagai objek penelitian.

  Persoalan-persoalan di sekitar al-Qur’an yang dapat dijadikan sasaran penelitian itu banyak sekali.[16] Persoalan itu antara lain terkait dengan bacaan al-Qur’an, nasikh-mansukh, tafsir al-Qur’an sehingga ada studi tekstual, studi kontekstual, dan studi interdisipliner.[17] Sementara persoalan yang terkait dengan hadits antara lain: mengapa dalam kitab al-Muwaththa’ hanya memuat sekitar 700 hadits, Shahih al-Bukhari memuat 4000 hadits, Shahih Muslim memuat 6000 hadits, Musnad Ahmad ibn Hanbal memuat 8.500 hadits. Mengapa ada penambahan jumlah? Lalu terdapat hadits shahih, hadits mutawatir, hadits masyhur, dan hadits ahad. Wilayah-wilayah inilah yang dapat dijadikan kajian.[18]

Ini semua sebagai contoh, dimensi lainnya masih banyak sekali yang dapat dijadikan objek penelitian. Hal-hal yang terkait dengan al-Qur’an masih banyak yang belum disebutkan di atas seperti masalah fawatih al-shuwar, qasam al-Qur’an, munasabat al-Qur’an, I’jaz al-Qur’an, makki wa madani, qira’ah sab’ah, asbab al-nuzul, qashash al-Qur’an, dan sebagainya. Sedangkan masalah yang terkait dengan hadits juga masih banyak, seperti sanad hadits, matn al-hadits, mukharrij al-hadits, ada’ watahamm al-hadits, riwayat al-hadits, dirayat al-hadits, musthalah hadits, hadits shahih wa shalih, syarh al-hadits, asbab al-wurud, pemahaman hadits secara tekstual, pemahaman hadits secara kontekstual, hadits-hadits yang bersifat prediktif, dan sebagainya yang layak dijadikan objek penelitian dan memang penting diteliti.

 Substansi hadits memang dirasakan penting diteliti. Menurut M. Syuhudi Ismail, ada beberapa faktor yang menyebabkan pentingnya penelitian hadits, yaitu: (1) hadits Nabi sebagai salah satu sumber ajaran Islam; (2) tidak seluruh hadits tertulis pada zaman Nabi; (3) telah timbul berbagai pemalsuan hadits; (4) proses penghimpunan hadits yang memakan waktu lama; (5) jumlah kitab hadits yang banyak dengan metode penyusunan yang beragam; dan (6) telah terjadi periwayatan hadits secara makna.[19] Dengan adanya periwayatan hadits secara makna (riwayat bi al-makna) maka terdapat hadits yang substansi pesannya sama tetapi redaksinya berbeda-beda yang membingungkan, sehingga membutuhkan kegiatan penelitian.

Adapun keagamaan dengan maksud Islam sebagai budaya atau Islam sebagai produk sejarah tersebut juga menyajikan ruang penelitian yang banyak sekali. Misalnya, teologi Syi’ah; konsep al-khulafa’ al-Rasyidun; konstruksi sejarah Islam klasik, tengah dan modern; wajah Islam di berbagai belahan dunia; paham Mu’tazilah; al-Muwaththa’ sebagai kitab susunan Imam Malik; sejarah politik, ekonomi, sosial, dan regional Islam; filsafat Islam, kalam, fiqh, ushul al-fiqh, tasawuf dan akhlak; kebudayaan Islam klasik, tengah, dan modern; arsitektur Islam, seni lukis, musik, bentuk-bentuk masjid; seni dan metode baca al-Qur’an yang berkembang di Indonesia; naskah-naskah Islam; demikian juga, banyak bangunan pengetahuan kita tentang Islam, sebenarnya adalah produk sejarah. Semuanya dapat dan perlu dijadikan sasaran penelitian.[20]

Ketika ditarik pada ekpresi Islam lokal, maka ruang gerak penelitian makin luas lagi. misalnya Islam Indonesia atau Islam Nusantara yang kaya ekpresi seperti peringatan maulid Nabi, peringatan nuzul al-Qur’an, peringatan isra’ mi’raj, halal bihalal, tahlilan, manakiban, istighasah, haul, ziarah kubur, slametan, nyadran, terbangan, hadrahan, shalawatan, pembacaan Barjanji, pembacaan Dhiba’, pembacaan Burdah, pujian sebelum shalat, niat yang dilafadzkan sebelum melakukan kegiatan ibadah mahdhah, tadarrus al-Qur’an memakai speaker, drumband membangunkan sahur di bulan ramadhan, penentuan imsak, zakat fitrah memakai beras, hari raya dua kali, izin tertulis dari isteri jika suami melakukan poligami, pemeriksaan pernikahan, pencatatan, pembacaan ta’lik talak, buku nikah, gono gini, dan sebagainya masih banyak kreasi kultural tentang Islam.

Menurut A. Mukti Ali bahwa penelitian keagamaan tentang perkembangan dan pengaruh agama Islam terhadap masyarakat Indonesia sendiri amat penting dan perlu dalam rangka pengembangan pengetahuan keislaman  di Indonesia.[21] Apalagi Islam Indonesia memiliki karakteristik khusus yang membedakan dengan Islam kawasan lainnya terutama dari segi pendekatannya, sehingga memunculkan Islam Nusantara yakni pengamalan Islam yang ditempuh melalui pendekatan kultural yang berimplikasi pada corak berislam secara moderat baik dalam teologi, fiqh, tasawuf, politik, pendidikan, dan budaya.

Sebenarnya penelitian keagamaan tidak hanya perlu bagi pengembangan pengetahuan keislaman, melainkan juga bagi para pemimpin agama Islam serta bagi para perencana dan pelaksana pembangunan di negeri kita. Bagi pemimpin agama Islam, hasil penelitian keagamaan akan sangat berguna dalam rangka meningkatkan usaha-usaha dakwah, pendidikan dan sosial, yang amat penting artinya bagi pembangunan kehidupan keagamaan. Sedangkan bagi para perencana dan pelaksana pembangunan, hasil penelitian akan menghindarkan mereka dari ‘kekeliruan’ yang menyinggung sentimen dan kepekaan rasa agama dari masyarakat yang akan mengganggu usaha-usaha pembangunan. Dengan pengertian lain, penelitian keagamaan amat diperlukan, baik untuk kepentingan pembangunan nasional maupun untuk pembangunan kehidupan agama itu sendiri.[22]

Penilaian selanjutnya diungkapkan oleh Muhammad Tholchah Hasan bahwa sebagai budaya ilmiah, peran penelitian sangat besar pengaruhnya bagi pengembangan kualitas sumberdaya manusia, karena kegiatan ini menuntut beberapa sikap yang berkaitan dengan ‘standar mutu’ sumberdaya manusia yang berkualitas, yaitu: kreatif, produktif, dan berkepribadian. Dalam penelitian selalu dituntut beberapa sikap ilmiah, seperti sikap ingin tahu, sikap menganalisis, sikap rasional, sikap objektif, dan sikap bekerja secara sistematik.[23]

Jadi, Islam baik sebagai agama maupun keagamaan menjadi lahan subur sebagai objek penelitian. Ada banyak hal dan jauh lebih banyak lagi dibanding contoh-contoh yang dipaparkan tersebut, yang dapat dijadikan objek penelitian, apalagi yang menyangkut keagamaan Islam di Indonesia yang kaya raya budaya dan sangat bervariasi. Objek-objek terakhir ini sangat menarik sekali untuk diteliti lantaran memantulkan kekhususan-kekhususan yang tidak dimiliki kawasan lainnya. Kekhususan-kekhususan ini perlu diketahui orang luar baik dalam skala regional, transnasional maupun internasional sebagai kekayaan lokal. Apabila kekhususan-kekhususan itu diteliti secara serius akan memperkaya ilmu pengetahuan yang dihasilkan dari ekpresi keislaman lokal Indonesia.

Sayangnya, ada sebagian orang yang memandang adanya pertentangan antara Islam dengan ilmu. Harun Nasution memaparkan bahwa antara agama dan ilmu pengetahuan masih dirasakan adanya hubungan yang belum serasi. Sejauh mana agama dapat dijangkau oleh jaringan komunikasi ilmiah. Sebab dalam bidang agama terdapat sikap dogmatis, sedang dalam bidang ilmiah terdapat sikap rasional dan terbuka. Antara agama dan ilmu pengetahuan memang terdapat unsur-unsur yang saling bertentangan.[24] Selanjutnya Nasution meringkas pertentangan-pertentangan itu:

  1. Kalau dalam bidang agama terdapat sifat statis, di dalam bidang ilmiah terdapat sikap dinamis.
  2. Kalau di dalam agama terdapat sikap tertutup, di dalam bidang ilmiah terdapat sikap terbuka.
  3. Kalau di dalam agama terdapat sikap emosional, di dalam bidang ilmiah terdapat sikap rasional.
  4. Kalau di dalam bidang agama terdapat sikap yang sangat terikat pada tradisi, di dalam bidang ilmiah terdapat sikap mudah melanggar tradisi.
  5. Kalau di dalam bidang agama terdapat sikap sukar dan sulit menerima pembaruan atau modernisasi, di dalam bidang ilmiah terdapat sikap mudah menerima perubahan dan modernisasi.[25]

Perbedaan-perbedaan inilah yang menjadi sumber kurang harmonisnya hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan. Agama dipandang irasional, bertentangan dengan sifat ilmu pengetahuan yang rasional, dan karena itu pula agama dipandang tidak dapat dijadikan sasaran dan objek penelitian ilmiah.[26] Kesan yang terlanjur terbangun adalah pemahaman yang membenturkan agama dengan ilmu pengetahuan dan tidak dapat dikompromikan. Padahal pemahaman demikian hanyalah pemahaman sepihak atau setidaknya pemahaman agama khususnya Islam yang ditampilkan oleh tokohnya beberapa dasawarsa yang lampau. Sementara model penampilan pemahaman Islam sekarang ini telah mengalami pergeseran positif yang sangat berarti yang disertai wawasan kontemporer.

Untuk merespons pandangan maupun pemahaman Islam oleh sebagian orang Islam yang terlanjur terbangun tersebut, Nasution melakukan telaah secara cermat, kemudian menarikk kesimpulan hipotetis: Islam tidak bertentangan dengan pemikiran rasional dan ilmu pengetahuan, dan yang banyak terdapat di dalamnya bukan dogma yang absolut, tetapi kebudayaan, maka mungkin tidak perlu suatu metode penelitian khusus, melainkan metode penelitian yang biasa digunakan saja.[27] Memang metode penelitian secara umum bisa diterapkan pada penetian yang objeknya Islam maupun keislaman. Hanya saja, lazimnya metode penelitian itu ditetapkan sesuai dengan karakteristik objek penelitian, sehingga memungkin terdapat metode penelitian secara khusus.

Perkembangan kajian agama semakin beragam, baik objek maupun metodenya. Sebagai objek kajian, agama dapat diposisikan sebagai doktrin, realitas sosial atau fakta sosial, dan pengungkapan keberagamaan. Kajian yang memposisikan agama sebagai doktrin menggunakan pendekatan teologis, yaitu kajian ilmiah atas doktrin agama dalam bingkai keimanan, atau kajian ilmiah tentang iman oleh orang-orang yang beriman. Kajian ini melahirkan ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir, ilmu hadits, dan ilmu fiqh. Sedangkan kajian yang memposisikan agama sebagai realitas sosial dan pengungkapannya, menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, antropologi, psikologi, filologi dan sejarah.[28]

Demikianlah, signifikansi penelitian agama dan keagamaan untuk dilakukan secara maksimal. Hasil penelitian ini memiliki kontribusi yang besar terhadap pembangunan bangsa khususnya bangsa Indonesia, dalam bentuk pemecahan masalah yang muncul di sekitar kita, pengenalan temuan-temuan penelitian, maupun penguataan kekayaan dan kedalaman intelektual seseorang. Untuk itu, perlu mendesain arah pengembangan penelitian khususnya penelitian dalam bentuk tugas tesis dalam mencapai gelar tingkat magister, agar penelitian yang dilaksanakan memiliki bobot mutu yang memuaskan berbagai kalangan.

Arah Pengembangan Mutu Penelitian Tingkat Magister

Dalam sistem pembelajaran, salah satu perbedaan S-1, S-2 dan S-3 dapat dilukiskan bahwa jika S-1 perlu memperkenalkan teori, S-2 mengembangkan teori, maka S-3 menemukan teori. Secara operasional perbedaan ini memiliki konsekuensi pada cara kerja mahasiswa. Jika mahasiswa S-1 berusaha mempelajari teori-teori dalam berbagai literatur sehingga banyak menampung informasi keilmuan, mahasiswa S-2 berusaha menambah kedalaman dan mengembangkan teori-teori yang telah dikuasai sehingga bersikkap proaktif dalam upaya pengembangan, maka mahasiswa S-3 berusaha memperdalam kajian keilmuan dengan target menemukan teori baru yang substantif sehingga harus bersikap progresif dalam melakukan penelitian. Perbedaan sistem pembelajaran ini, pada gilirannya juga berpengaruh pada arah penelitian yang dilaksanakan. Ada perbedaan penelitian skripsi, tesis, dan disertasi. Skripsi sebagai penelitian bagi mahasiswa program S-1, tesis bagi mahasiswa program S-2, sedangkan disertasi bagi mahasiswa program S-3.

Penelitian tesis menuntut keseriusan lebih tinggi daripada penelitian skripsi. Sebagai pemula, penelitian skripsi masih ditoleransi jika bernuansa metodologi penelitian, maka pada penelitian tesis seharusnya mempertajam metode penelitian, yakni mempertajam aplikasi ketentuan-ketentuan metodologi penelitian itu menjadi langkah-langkah praktis kegiatan  penelitian.  Dari sisi objek penelitian, penyusunan skripsi ditoleransi jika menggunakan satu objek penelitian, maka penelitian tesis seharusnya minimal dua objek penelitian baik dalam bentuk rancangan penelitian multisitus maupun multikasus.

Untuk memperdalam penelitian pada tesis itu, terdapat hambatan-hambatan yang dihadapi peneliti dalam melakukan kegiatan penelitian. Menurut Hasan, hambatan ini meliputi: lemahnya minat dan budaya meneliti; terbatasnya dana penelitian; kelemahan penguasaan metodologi; dan faktor kelembagaan yang kurang kreatif, tidak efisien, dan tidak memiliki program yang jelas.[29] Hambatan-hambatan ini banyak dijumpai pada perguruan tinggi di Indonesia, apalagi pada lembaga sekolah atau madrasah di bawahnya. Namun masih terdapat celah untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut.

Ada beberapa resep dalam menumbuhkan minat dan budaya men eliti dalam rangka membina peneliti yang baik dan produktif, yaitu ‘Open Your I’s’, ada 12 yang perlu dikembangkan, yaitu:

  1. Inteligence’, merupakan potensi dan faktor yang esensial.
  2. Interest’, rasa ingin tahu yang spesifik dan mendalam (curiosity) pada suatu masalah.
  3. Imaginatiori’, mendorong keberanian untuk mencoba suatu yang orisinal.
  4. initiative’, tidak menunggu atau menunda-nunda dalam memulai sesuatu.
  5. Information’, mengumpulkan informasi dari sumber pertama yang terbaru.
  6. Inventive’, menciptakan sendiri sarana dan peralatan yang diperlukan.
  7. Industrious’, bekerja keras, rajin dan serius.
  8. Intense observation’, melakukan pengamatan dan pencatatan yang intensif.
  9. Integrity’, keyakinan yang kuat dan kejujuran yang mutlak.
  10. Infectious enthusiasm’, mempunyai antusiasme untuk dapat menarik peneliti lain maupun pengguna.
  11. Indelatigable writer’, hasil penelitian itu dipublikasikan dan disebarluaskan demi pemanfaatannya.
  12. Incentive’, insentif dan rasa puas sebagai cermin keberhasilan sebagai peneliti yang sukses.[30]

Resep ini sangat baik jika diimplementasikan melalui sikap konsisten, konsekuen dan kontinyu dalam rentang waktu penulisan tesis. Sebab ketiga sikap itu saling menguatkan, mengingatkan, dan berorientasi pada kemajuan dalam melakukan sesuatu kegiatan. Siapapun yang mampu menjaga kebersamaan ketiga sikap itu, akan mampu menampilkan hasil pekerjaan yang paling baik. Termasuk dalam konteks ini akan mampu merealisasikan proses dan  laporan penelitian tesis yang bermutu.

Ada hal yang perlu dipertimbangkan ketika berusaha meningkatan mutu penelitian tingkat magister, yaitu hasil penelitian Azyumardi Azra terhadap kecenderungan disertasi di IAIN (sekarang UIN) Jakarta. Kesimpulannya bahwa kajian-kajian dalam ilmu Islam belum merata baik dari segi bidangnya, maupun aspek normatif serta aspek metodologis. Kajian hadits relatif sedikit dibandingkan fiqh dan tafsir. Kajian ilmu-ilmu Islam ini cenderung mengarah pada kajian normatif dan konsepsi daripada kearah metodologis pengembangan konsepsi-konsepsi tertentu untuk menjawab tantangan dunia modern dan kontemporer. Di samping itu juga menunjukkan lemahnya penguasaan teori, pendekatan dan metodologi ilmu-ilmu sosial dan humaniora, seperti politik, sosiologi, antropologi, sejarah, dan lain-lain. Kelemahan ini mengakibatkan langkanya kajian-kajian yang lebih bersifat empiris di antara disertasi-disertasi yang diselesaikan.[31]

Sebenarnya semua penelitian jika dilakukan secara serius akan menghasilkan penelitian yang bermutu. Tidak boleh membedakan jenis penelitian secara diskriminatif. Penelitian kuantitatif misalnya juga banyak manfaatnya dan besar kontribusinya dalam pembangunan bangsa. Hanya saja seiring dengan karakteristik objek kajian keilmuan Islam murni yang dilakukan pada tingkat magister, maka penulis merekomendasikan beberapa jenis penelitian:

Pertama, Penelitian kualitatif dengan target menformulasikan teori baru yang substantif. Sugiyono mengatakan, “Hasil penelitian kualitatif yang tertinggi kalau sudah dapat menemukan teori atau hukum-hukum, dan paling rendah kalau masih bersifat deskriptif.”[32] Suatu pernyataan yang dapat diterima secara rasional dan terbukti secara empirik secara berulang-ulang akan menjadi teori. Jika pernyataan itu terus menerus diterima secara rasional dan terbuktikan secara empirik apalagi berlangsung berabad-abad, maka martabatnya akan meningkat menjadi hukum. Manfaatnya adalah peneliti memiliki ketrampilan mengkonstruk rumusan teori baru, yang oleh bangsa Indonesia belum menjadi budaya mereka.

Kedua, penelitian dan pengembangan (research and development), yaitu metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu, dan menguji efektivitas produk tersebut.[33] Penelitian ini dilalui dengan langkah-langkah: potensi dan masalah, pengumpulan data, desain produk, validasi desain, revisi desain, ujicoba produk, revisi produk, ujicoba pemakaian, revisi produk, dan produksi masal.[34] Produk yang dihasilkan penelitian ini bisa bernuansa eksak maupun sosial. Produk-produk penelitian yang bernuansa sosial memberikan akses bagi penelitian agama maupun keagamaan. Lantaran terdapat produk, maka hasil penelitian secara riil dapat dimanfaatkan secara langsung oleh masyarakat.

Ketiga, kajian model campuran. Kajian model campuran adalah memadukan pendekatan kualitatif dan kuantitatif dalam semua tahapan proses penelitian (seperti konseptualisasi, pengumpulan data, analisis data, dan penyimpulan).[35] Model penelitian ini menuntut kerja keras (kerja penelitian dilakukan dua kali), tetapi peneliti memperoleh ketrampilan ganda (merumuskan sekaligus menguji proposisi (hipotesis) atau teori yang baru dirumuskan).

Keempat, riset grounded theory. Grounded theory merupakan desain riset kualitatif yang penelitiannya memunculkan penjelasan umum (teori) tentang proses, aksi atau interaksi yang dibentuk oleh pandangan dari sejumlah besar partisipan.[36] Tujuannya adalah untuk bergerak keluar dari deskripsi dan untuk memunculkan dan menemukan teori, ‘penjelasan teoritis gabungan.’[37] Grounded theory adalah desain yang baik untuk digunakan ketika tidak didapatkan teori untuk menjelaskan atau memahami proses.[38] Konsekuensinya peneliti harus berada di lapangan penelitian dalam waktu yang lama dan aktif bergumul dengan masyarakat dalam rangkaian kegiatan penelitian, tetapi peneliti memperoleh ketrampilan dalam mengkonstruk teori benar-benar dari dasar (dari lapangan penelitian).

Kelima, penelitian interdisipliner atau multidisipliner. Penelitian interdisipliner merupakan kegiatan meneliti yang menggunakan pendekatan dalam memecahkan suatu masalah melalui penggunaan tinjauan berbagai sudut pandang ilmu serumpun yang relevan secara terpadu. Sedangkan penelitian multidisipliner merupakan kegiatan meneliti yang menggunakan pendekatan dalam memecahkan suatu masalah penelitian melalui penggunaan tinjauan berbagai sudut pandang banyak ilmu yang relevan.[39] Dalam penelitian ini, peneliti menjadi kaya wawasan dan/atau strategi dua atau lebih macam keilmuan dalam memecahkan suatu masalah.

Keenam, penelitian verifikasi, yakni model penelitian yang didesain untuk menggugat hasil penelitian yang lampau karena terdapat perubahan-perubahan gejala di lapangan secara mendasar. Misalnya sebuah penelitian yang berusaha menggugat hasil penelitian Clifford Geertz di Mojokuto (sekarang diperkirakan di Pare Kediri) yang menghasilkan teori Islam Jawa: santri, abangan, dan priyani. Maka judul penelitian, fokus, pertanyaan penelitian, pendekatan penelitian, metode pengumpulan data dan analisisnya  harus didesain sama semua, kecuali waktunya yang berbeda. Peneliti dalam penelitian ini mampu membangun teori tandingan terhadap teori lama atau teori alternatif yang didasarkan perubahan-perubahan gejala yang sangat membedakan atau bahkan mungkin bertentangan.

Ketujuh, penelitian filologi (naskah-naskah kuno). Yaitu kegiatan penelitian yang berusaha meneliti naskah-naskah peninggalan zaman dahulu. Melalui penelitian ini, peneliti mampu menampilkan dan memperkenalkan khazanah lokal kepada para pembaca, meskipun lazimnya mengalami kesulitan dalam memahami bahasanya.

 Adapun secara teknis, terdapat model perumusan judul penelitian, pertanyaan penelitian, penggunaan teori, pemilihan informan penelitian, pelaksanaan proses penelitian, model penyajian data dan analisisnya, cara merumuskan temuan penelitian dan proposisi penelitian, cara mendiskusikan hasil penelitian, cara menarik kesimpulan, dan cara memaparkan implikasi hasil penelitian.

Kesimpulan

Sebenarnya Islam telah merintis budaya dan tradisi penelitian baik dalam persoalan agama dan keagamaan di satu sisi maupun persoalan lainnya baik terkait astronomi, fisika, matematika, dan sebagainya. Imam Syafi’i dan Imam Bukhari telah merintis penelitian agama dan/atau keagamaan di masa abad awal Islam maupun al-Ghazali, Ibnu klaldun dan Ibnu Taimiyah pada abad pertengan. Penelitian ilmuan Muslim ini diharapkan menjadi stimulan bagi tumbuhnya semangat penelitian generasi Muslim sekarang ini, khususnya bagi mahasiswa program pascasarjana tingkat magister yang sedang mengerjakan penelitian tesis. Dalam rangkat meningkatkan kualitas penelitian tesis itu, sebaiknya berani menghadapi tantangan yang makin berat dengan memilih penelitian kualitatif dengan target menformulasikan teori baru yang substantif, penelitian dan pengembangan (research and development), kajian model campuran (mixed methods), riset grounded theory, penelitian interdisipliner atau multidisipliner, penelitian verifikasi, atau penelitian filologi (teks naskah kuno).

[1] Taufik Abdullah, “Kata Pengantar”, dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (eds.), Metodologi Penelitian Agama sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Tiarawacana, 1989), h. xi

[2] S.H. Nasr, Islamic Science: an illustrated Study, (London: World of Islam Festival Publishing, 1976), h. 80. Lihat juga Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, terj. Joko S. Keliper,  (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 232

[3] A. Baiqunii, Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern, (Jakarta: Pustaka, 1983), h. 6

[4] Syed Amir Ali, Api Islam Sejarah Evolusi dan Cita-cita Islam dengan Riwayat Hidup Nabi Muhammad Saw., (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 576-577

[5] Hakim Muhammad Said dan A. Z. Khan, al-Biruni: His Times, Life and World, (Karachi: Hamdard Academy, 1981), h. 145

[6] Ibid., h. 147

[7] Komisi Nasional Mesir Untuuk UNESCO, Sumbangan Islam Kepada Ilmu dan Kebudayaan, terj. Ahmad Tafsir, (Bandung: Pustaka, 1986), h. 183

[8] S.H. Nasr, Introduction to Islamic Cosmological Doctrins,(Boulder: Shambala, 1978), h. 129-130

[9] John Walbridge, The Science of Mystic Light: Quth al-Din Shirazi and Uluminasionist  Tradition in Islamic Philosophy, (Cambridge, Mass: Harvard University Press, 1992), h. 121.

[10] Sabra (ed., penerj), The Optics of Ibn Haytham, (London: The Wayburg Institute University of London, 1989), h. 12.

[11] Mujamil Qomar, Merintis Kejayaan Islam Kedua Merombak Pemikiran dan Mengembangkan Aksi, (Yogyakarta: Teras, 2011), h. 31

[12] Abdullah, “Kata Pengantar…”, h. xii

[13] Ibid.

[14] Ibid.

[15] Mohammad Muqim (ed.), Research Methology in Islamic Perspective, (New Delhi: institute of Objective Studies, 1994), h. 1

[16] M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2001), h. 19

[17] Ibid., h. 19-20

[18] Ibid., h. 20

[19] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta: bulan Bintang, 1992), h. 7-21

[20] Mudzhar, Pendekatan Studi, h. 22-24

[21] A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini, (Jakarta: Rajawali Pers,1987), h. 324

[22] Ibid.

[23] Muhammad Tholchah Hasan, “Peran Penelitian dalam Peningkatan Kemampuan Sumberdaya Manusia Untuk Menunjang Pembangunan di Indonesia”, dalam Masykuri Bakri (ed.), Metodologi Penelitian Kualitatif Tinjauan Teoritis dan Praktis, (ttp: Lembaga Penelitian Universitas Islam Malang kerjasama dengan Visipress, 2002), h. 10-11

[24] Saiful Muzani (ed.), Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran Prof. DR. Harun Nasution, (Bandung: Mizan, 1995), h. 320

[25] Ibid., h. 321

[26] Ibid.

[27] Ibid., h. 327

[28] Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003), h. iii

[29] Hasan, “Peran Penelitian…”, h. 12-13

[30] Ibid., h. 11-12

[31] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,(Jakarta: PT. Logos Wacana ilmu, 1999), h. 199

[32] Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif Dilengkapi Contoh Proposal dan Laporan Penelitian, (Bandung: CV. Alfabeta, 2010), h. 21

[33] Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: CV. Alfabeta, 2011), h. 297

[34] Ibid., h. 298

[35] Abbas Tashakkori dan Charles Teddlie, Mixed Methodology Mengkombinasikan Pendekatan Kualitatif dan Kualitatif, terj. Budi Puspa Priadi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. viii

[36] John W. Creswell, Penelitian Kualitatif & Desain Riset Memilih di antara Lima Pendekatan, ed. Saifuddin Zuhri Qudsy, terj. Ahmad lintang Lazuardi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2018), h. 115

[37] Ibid.

[38] Ibid., h. 122

[39] Bandingkan dengan H. Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif Interdisipliner bidang Sosial, Budaya, Filsafat, Seni, Agama dan Humaniora, (Yogyakarta: Paradigma, 2012), h.20-21